PC Chapter 1

| Rabu, 11 Desember 2024

 Chapter 1: Partner Alam Gaib




Pada pagi harinya, pukul 08:12 hari Sabtu, meskipun terlambat. Khana tetap memiliki niat untuk pergi menemui kedua temannya ditempat pemberhentian bis. 

Sesampainya di tempat pemberhentian bis hanya dengan berjalan kaki. Salah satu temannya mengomelinya karena terlambat lebih dari dua puluh menit.

"Coba lihat, siapa yang terlambat kali ini?!" Kata salah satu temannya yang berjenis kelamin perempuan, memakai kacamata kotak berambut panjang berwarna putih keabuan. "Kau ini niat pergi gak sih?!" Lanjut gadis berkacamata kotak itu.

"Yahh... Mulai lagi dehh..." Gumam Khana dalam hati.

"Lain kali jangan gitu lagi ya... Bukankah kita melakukan ini hanya demi ibumu?" Lanjutnya.

Mendengar hal itu, temannya yang satu lagi segera menyela. "Hei... bisnya telah datang, sebaiknya kita bersiap untuk pergi." kata salah satu teman Sha yang berjenis kelamin laki-laki dengan rambut berwarna hitam dengan perban di pipinya.

Mereka semua pun menyimpan barang dan pergi dengan menaiki bis tersebut. Sambil menunggu mereka sampai pada tujuannya, saya sebagai author akan memperkenalkan kedua temannya. Kalian pasti bertanya-tanya siapa kedua temannya tersebut.


Baiklah... Yang pertama, ia adalah seorang perempuan dengan memakai kacamata berbentuk kotak. Memiliki rambut panjang berwarna hitam keabuan, mengenakan pakaian hoodie tipis berwarna abu dan masih mengenakan pakaian sekolah pada hari libur. Namanya adalah Yuina Shiori, ia adalah warga asli jepang, sifatnya terkadang pemarah. Namun, itu adalah caranya untuk peduli dengan teman-temannya.

Ia juga memiliki prestasi sebagai siswa terbaik di sekolah kami, terkadang berbicara dengannya saat di sekolah sangatlah sulit, karena dirinya yang super sibuk. Tidak seperti Khana yang selalu mendapatkan nilai pas-pasan.




Dan yang kedua adalah seorang laki-laki dengan perban yang ada di pipinya."Kami berdua bahkan tidak tahu perban tersebut bekas apa." Ia seperti merahasiakan bekas luka tersebut kepada kedua temannya. Ia memiliki rambut berwarna hitam yang disisir kearah samping. Namanya adalah Misio Hideki, sama seperti Yuina, ia adalah warga asli jepang, sifatnya agak pendiam. Namun, kami tidak terlalu memikirkan hal itu dan tetap berteman dengannya.

Sama seperti Khana, ia adalah seorang siswa biasa yang tidak memiliki prestasi apapun di sekolahnya. Diajak bicara pun sulit, karena ia berada di kelas dengan Khana dan Yuina. 



Dan yang terakhir sebagai tokoh utama. Berpenampilan dengan rambut berwarna coklat dan kacamata bulat, ia mengenakan hoodie tebal berwarna coklat dengan syal berwarna merah muda.

Namanya adalah Khana, dirinya tidak terbiasa dengan cuaca dingin yang ada di jepang. Sifatnya periang, ramah dan juga baik. Tidak segan untuk berteman dengan siapapun. Diketahui saat ini, ia sedang menjalankan misi untuk mencari ibunya...

Tidak... Lebih tepatnya mencari arwah ibunya...

Didalam perjalan Khana yang duduk disamping Yuina, diajak berbicara dengannya. "Ngelamun aja terus... Masih marahkah?" tanya Yunia Shiori sebagai teman lamanya.

"Nggak tuh." jawab Khana, kemudian bertanya. "ada apa?".

"Liat nih. Distrik Shinobu, konon katanya ada seorang anak indigo yang pernah melihat penampakan disana, karena kau indigo, mungkin kau bisa mencari informasi mengenai kehidupan mereka. Itupun jika kau bukan orang yang penakut sihh..." balas Yuina sambil memperlihatkan gadgetnya.

"Hmm..." ketika Khana melihat isi dari artikel itu, pandangannya teralihkan pada suatu artikel yang bertuliskan. "Saya melihat ada hantu perempuan yang selalu memperhatikan saya, padahal saya sedang dalam keadaan tidak memakai indera keenam."

"Sepertinya itu penipuan dehh... Pindah ke tempat lain aja gimana?" kata Khana sambil terus memperhatikan isi artikel tersebut.

"Kau takut?" tanya Yuina.

"Gak tuh." jawab Khana, tetapi didalam hatinya ia berkata. "Kalau tidak salah... Yang memiliki kemampuan itu... Hanya...-"

"Kita sudah sampai, yuk turun." Hideki memotong pembicaraan untuk kedua kalinya.

"Hei, bisa gak sihh... Dialog orang itu jangan kau potong terus!" ujar Khana dengan penuh emosi.

Setelah itu, mereka semua pun turun dari bis dan berjalan kaki menuju Distrik Shinobu atau bisa disebut sebagai Fukushima. Sebuah kota mati bekas kecelakaan nuklir, yang sekarang telah memiliki penduduk yang bisa dibilang lumayan banyak.

"Nah... Khana, coba kau lihat ke depan." ucap Yuina untuk memastikan apakah mereka datang di tempat yang tepat.

Khana terkejut saat menatap ke depan dan melihat sejumlah besar hantu yang berkeliaran di tempat itu. mungkin itulah alasan mengapa Yuina, temannya, memutuskan untuk datang ke tempat ini.

Yuina yang bukan seorang anak indigo sebenarnya ragu akan tempat ini yang begitu banyak hantunya. Akan tetapi, dengan membawa Khana yang seorang anak indigo. Hal itu dapat dibuktikan kebenarannya.

"Teman-teman, aku minta izin untuk pergi ke toilet umum dulu ya?!" tanya Khana kepada teman-temannya.

"...Baiklah kalau begitu, kami tunggu di depan restoran." balas Yuina dengan sedikit kecewa, mengizinkannya untuk pergi.

"Ehh? Bukankah dia pergi menjauh dari distrik ini?" ucap Hideki memperhatikan arah kemana Khana akan pergi.

"Biarin aja dia... Yuk Hide, kita ke Restoran! Sekalian ku traktir." kata Yuina kemudian mengajak Hide untuk ke Restoran sambil menunggu Khana kembali.

"Ehh... Serius?" kata Hideki sambil gugup. 

Disisi lain, ketika Khana telah sampai di toilet umum. Khana sempat mengintip ruangan tersebut sebelum memasukinya untuk memastikan didalam tidak ada orang, ataupun hantu.

Setelah dirasa aman, ia pun memasukinya dan berkata. "Fiuhh, baiklah saatnya beraksi..."

Sambil mengeluarkan benda bercahaya merah di kantongnya. Dirinya berkata, "Dengan begini, tidak ada yang tahu jika aku adalah seorang indigo abal-abal."

"Aku, hanya mengandalkan benda ini untuk melihat mereka." lanjutnya, sambil mengusap benda berwarna merah tersebut dan menyiraminya.

Lambat laun, cahaya dari benda tersebut semakin redup. Benda itu adalah kalung pemberian nenek moyangnya. "Oke... Dengan begini, pengelihatan indera keenam telahku nonaktifkan untuk sementara waktu. Aku tidak akan melihat hal yang aneh-aneh lagi."

"Jujur saja aku ini orangnya penakut..." katanya dalam hati, sambil meletakkan benda tadi dan melepaskan kacamatanya kemudian mengusap wajahnya dengan air.

"Sip, saatnya kembali ke teman-temanku." ucapnya dalam hati sambil membasuh wajahnya.

Begitu dirinya membuka matanya dan melihat kearah cermin. Badannya terdiam kaku karena yang ia lihat saat itu adalah seorang gadis kecil berkulit pucat. Dengan rambut berwarna hitam serta tidak memiliki bola mata sama sekali.


". . ." Mereka berdua pun hanya terdiam saling menatap.

Karena merasa panik, Khana berkata. "Duhh... Kacamataku dimana ya? N-Nanti aja dehh... Aku harus cepat-cepat menemui temanku, takutnya mereka akan marah." ia pun pergi meninggalkan kacamatanya yang jelas-jelas berada di dekat cermin toilet umum tersebut.

Sambil berkeringat dingin, ia pergi melewati hantu itu dan menutup pintu toilet umum tersebut secara perlahan, kemudian berjalan menjauh dari tempat tersebut. 

"Sial, sial, sial, sial, sial. Bodohnya aku, aku tak sengaja menatapnya brengsek! Semoga saja dia tidak mengikutiku." gumam Khana, jantungnya berdetak kencang. "Bagaimana bisa... B-Bagaimana bisa dia masih dapat terlihat? Padahal aku tadi sudah menghilangkan mata batinku..."

"Apa jangan-jangan... Dia itu hantu dari sekte sesat." Gumam Khana.

Di dalam toilet umum itu, gadis itu masih diam mematung melihat apa yang dilakukan oleh Khana.

Ia pun tersenyum kemudian......

..........

......

..

Setelah Khana berhasil lolos dari tempat tersebut, ia pun sampai kepada teman-temannya. Melihat Khana sudah kembali. Yuina pun berdiri dan berkata. "Itu orangnya. Kirain kabur, lama amat."

Melihat kondisi Khana yang basah karena keringatnya sendiri. Yuina pun lanjut bertanya. "Kau habis ngapain? Wajahmu pucat loh, oh iya kacamatamu mana?"

"Udah ah! Jangan banyak tanya lagi." Jawab Khana dengan kesal sambil berjalan ia mendorong Yuina, kemudian duduk di Restoran tersebut. Disamping Hideki.

Melihat Khana yang sudah kembali. Hideki langsung membagikan hidangan berupa minuman tapioka (bubble tea), "Yuina membelinya untukmu, minum nih dan tenangkanlah dirimu." bisik Hideki sambil memberikan minuman tersebut.

Melihat bubble tea yang merupakan minuman kesukaannya. Mata Khana pun langsung berbinar, ia mengucapkan berterima kasih kemudian menenangkan diri dengan menyeruput minuman tersebut dengan lahap. "Wah... kalau sudah disuguhin bubble tea, mana bisa mikir panjang dia." gumam Yuina dengan senyum tipis.

Setelah menyelesaikan makan di restoran, mereka segera mengemasi barang-barang mereka dan bersiap melanjutkan perjalanan. Tujuan mereka yang sebenarnya adalah sebuah sekolah tempat yang dulunya merupakan pabrik nuklir yang telah menyebabkan banyak korban jiwa di masa lalu.

Namun, dengan teknologi yang telah berkembang pesat, penduduk di sini entah bagaimana mampu mengubah bekas pabrik yang suram itu menjadi sebuah sekolah yang modern. Sebuah transformasi yang nyaris mustahil, tetapi di dunia ini, di mana kemajuan teknologi terus melampaui batas, tak ada yang benar-benar tidak mungkin.

"Kita sudah sampai... Dan sekarang, kita akan menginap disini." ucap Yuina.

"Menginap disini?! Apa kau gila?" balas Khana yang masih merasa takut.

"Aku belum menyelesaikan kalimatku bodoh... Kita akan mencari kos-kosan yang dekat dengan sekolah ini." lanjut Yuina. "Kalau sudah paham, ayo kita cari kos-kosan yang ada di dekat sini. Kemudian kita akan kembali lagi kesini setelah malam."

Setelah itu mereka pun berpencar untuk mencari kos-kosan yang murah, untuk mereka tinggali nantinya. Mungkin rencana Yuina akan berjalan dengan lancar jika Khana bukanlah orang yang penakut.

Mungkin ini adalah baru pertama kalinya Khana dan teman-temannya melakukan hal seperti ini. Baiklah... Mari kita lanjutkan ceritanya.

Disaat hari sudah menjelang pukul malam Khana dan kedua temannya bergegas pergi ke sekolah itu lagi, guna untuk bereksperimen terhadap para hantu yang ada disana.

Setelah sampai disana, seketika suasana pun berubah drastis penuh dengan aura mencekam. "Perasaanku ga enak dehh... Kita beneran bakalan masuk kesini kan?" tanya Hideki sambil gemetar.

"Sadar diri... Kamu itu cowok, masa dengan begini aja takut." ejek Yuina merasa bahwa sifat Hideki seperti seorang pecundang. "Yah... Meskipun begitu, aku juga agak ragu sihh untuk memasukinya." gumam Yuina yang ternyata dirinya juga ketakutan.

Melihat reaksi dari teman-temannya, Khana pun bergumam. "Untung saja diriku meminimalisir pengelihatanku agar tidak melihat hal yang tak kuinginkan..."

"Apa katamu?" tanya Yuina yang tak sengaja mendengar kalimat tersebut.

"Ahh! TIDAK KOK.... Tunggu apa lagi? Ayo masuk!" kata Khana sambil memaksakan dirinya untuk masuk ke sekolah tersebut yang gelap dan mencekam. 

"Hei! tunggu kami." ucap Hideki.

Setelah mereka memasuki tempat itu, kengerian pun semakin menjadi-jadi. Mereka semuapun dalam posisi merapat karena tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi pada mereka. Diantara mereka, hanya Yuinalah yang berani mengambil posisi paling depan. Sementara Khana dan Hideki, mereka berada di posisi belakang untuk berjaga-jaga.

Setibanya di ruang laboratorium sekolah, Khana tiba-tiba mendengar suara tangisan wanita yang bergema di antara dinding-dinding dingin dan sepi. Suara itu terdengar begitu jelas di telinganya, namun saat ia melihat ke arah teman-temannya, mereka tampak tidak bereaksi, mereka tidak mendengar apa pun. Khana menghentikan langkahnya sejenak, pikirannya campur aduk. Antara ia harus masuk ke dalam ruangan tersebut dan mencari sumber suara, atau sebaiknya mengabaikan hal aneh ini?

Saat kebimbangan menyelimuti pikirannya, Khana menoleh untuk memastikan keberadaan teman-temannya. Namun, jantungnya seketika berdegup kencang ketika menyadari mereka telah pergi jauh, padahal sebelumnya mereka berjalan tidak jauh di depannya.

"Hide? Yui? Kalian dimana?!" sambil berjalan menyelusuri lorong yang gelap dan mencekam, Khana berteriak memanggil teman-temannya. Suaranya menggema namun, ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari temannya. Melainkan hanya kesunyian yang ada di lorong sekolah yang gelap tersebut.

"Hideki!? Yuina!?" teriaknya lagi.

"Hi-" setelah itu teriakannya pun terhentikan, setelah mendengar benda jatuh didalam ruang laboratorium. Khana terdiam kaku setelah apa yang kini dialaminya, bulu kuduknya berdiri dan jantungnya berdetak semakin kencang.

Karena Khana terlalu penakut, dirinya pun mengabaikan suara tersebut. Memutar badannya dan berlari, mencoba secepat mungkin mencari teman-temannya. Suara hentakan kakinya terdengar di lorong yang sunyi, diiringi detak jantungnya yang semakin keras di telinganya.

Setelah lama berlari, napas Khana terengah-engah. Ia akhirnya terhenti ketika menyadari dirinya terjebak. Di depannya, hanya ada jalan buntu, sementara itu di sebelah kanannya, terdapat ruangan perpustakaan berdiri dengan pintu setengah terbuka, memancarkan aura dingin yang tak ramah. Di samping perpustakaan itu, tangga berkelok-kelok menuju lantai atas dan lantai bawah. Khana berdiri di sana, kebingungan, dengan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.

Namun, semuanya berubah ketika ia mendengar suara rantai yang diseret. Suara itu datang dari antara lantai atas dan bawah. Lambat laun, suara rantai itu semakin mendekat, seolah-olah makhluk itu berada tepat di antara tangga, mendekat ke arahnya.

Jantung Khana berdegup kencang, dan otaknya bekerja keras mencari jalan keluar. Suara itu semakin dekat. Tanpa pikir panjang, dan didorong oleh naluri bertahan hidup, Khana segera berlari masuk ke dalam perpustakaan. Dengan tergesa, ia menutup pintu, berharap dinding buku dan kesunyian perpustakaan bisa melindunginya dari apa pun yang mendekat.

Di dalam perpustakaan sedikit luas dan sunyi, Khana melangkah perlahan. Kelelahan mulai merayap di tubuhnya, sementara sisa adrenalin yang tadi mengalir deras kini perlahan menghilang, meninggalkan rasa lemah.

Pada akhirnya Khana menemukan sebuah kursi kayu di sudut ruangan. Ia pun duduk di kursi itu, merasakan dinginnya kayu di punggungnya. Napasnya masih sedikit tersengal, namun pikirannya berusaha menenangkan diri. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan keheningan perpustakaan menyelimuti dirinya. Meskipun rasa takut masih bersembunyi di sudut pikirannya, untuk sesaat, ia hanya ingin beristirahat menenangkan detak jantung yang masih bergemuruh di dadanya.

Setelah beberapa saat beristirahat, Khana membuka matanya perlahan. Namun, matanya langsung terpaku pada sebuah buku yang tiba-tiba muncul di atas meja di depannya. Jantungnya berdetak kencang lagi. Ia yakin sebelumnya meja itu kosong tak ada satu pun buku yang tergeletak di sana.

Buku itu berjudul "Phasmophobia (Ketakutan Terhadap Hantu)" Karya Sharon C. Sheward, seakan mencerminkan ketakutan yang kini menguasai Khana. Judul itu begitu tepat dengan kondisinya saat ini, seperti sebuah peringatan yang sengaja ditinggalkan untuknya. Rasanya terlalu kebetulan, dan semakin Khana menatapnya, semakin kuat rasa tidak nyaman yang menyelimuti dirinya.

Sebuah dorongan kuat untuk meninggalkan tempat itu langsung menguasai pikirannya. Ia berdiri dengan cepat, kursi kayu yang didudukinya berderit pelan. Napasnya mulai memburu lagi, dan nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa ingin berlama-lama mencari penjelasan, Khana berbalik dan berniat pergi dari perpustakaan itu secepat mungkin.

Namun, ketika ia berbalik badan. Ada seorang gadis kecil yang sedang menunggunya dibelakang. Kulitnya pucat, tidak memiliki mata dan berambut hitam... Ya, itu adalah sosok yang sebelumnya pernah Khana temui di toilet umum. Seakan jantung Khana berhenti berdetak. Ia tersungkur jatuh dan tak mampu berdiri lagi, merasa bahwa hawa kematian semakin mendekat.

Sosok itu terdiam mematung menatap Khana sambil tersenyum. Namun, kehadirannya, sudah cukup untuk membuat Khana merasa lumpuh karena ketakutan. Setelah sekian lama, akhirnya gadis itu tertawa kecil dan ia mengulurkan tangannya ke arah Khana. Dalam genggamannya, ada sebuah benda yang langsung dikenali oleh Khana. Benda itu adalah kacamata yang sebelumnya ia tinggalkan di toilet umum.

Sepertinya hantu gadis itu berniat baik. Hantu itu hanya ingin mengembalikan kacamata milik Khana yang sebelumnya ia tinggalkan di toilet umum. Namun, karena rasa takut yang sudah merayapi tubuhnya Khana tidak berani mengambil kacamata itu dari genggaman sang hantu.

Seolah-olah memahami perasaan Khana, hantu gadis kecil itu meletakkan kacamata di lantai, di depan Khana, lalu perlahan mundur memberi ruang bagi Khana untuk mengambilnya. Senyum tipis masih menghiasi wajah pucatnya, namun kali ini senyuman itu tampak lebih tenang, seakan memberikan jaminan bahwa dirinya benar-benar baik.

Melihat tindakan hantu itu, secara perlahan Khana mulai mengulurkan tangannya untuk mengambil kacamata miliknya. Dengan hati-hati sambil memperhatikan gerak-gerik hantu itu yang sedari tadi diam memperhatikannya. Akhirnya Khana dapat meraih kacamata bundar miliknya merasakan tekstur dari kacamata itu, membuatnya merasa sedikit lega. Setelah itu Khana pun bertanya kepada si hantu yang masih berdiri dengan tenang namun sedikit memaksa.

"Mengapa kau mengikutiku...? Apa yang kau inginkan?!" ucapnya sambil gemetar.

Hantu itu tetap diam. Suasana di sekeliling terasa semakin hening, menunggu jawaban atau reaksi dari sosok misterius di depannya.

Karena hal itu, Khana pun berdiri dan berniat untuk pergi meninggalkan si hantu. "Baiklah kalau tidak ingin menjawab, aku akan pergi dari sini. Terima kasih untuk kacamatanya." lanjut Khana sambil berjalan pergi meninggalkan si hantu.

Baru saja Khana hendak mengalihkan fokusnya dari hantu itu setelah berhasil mengambil kacamata, tiba-tiba suara lembut, polos dan dingin dari sosok hantu gadis kecil itu tersebut memecah keheningan. "Jika kau berada dalam suatu film, pasti kau adalah orang yang paling pertama mati."

Khana tersentak. Napasnya tertahan sejenak, dan perlahan-lahan ia menolehkan pandangannya kembali ke arah hantu itu. Hantu anak kecil tersebut masih berdiri di tempatnya.

Sebelum Khana sempat merespons, hantu itu melanjutkan kalimatnya. "Ketakutan hanya akan mengubah manusia menjadi seperti hewan ternak. Untuk melawan mereka, kau harus membuang emosi itu terlebih dahulu."

". . ." Khana hanya terdiam tak dapat menjawab sepatah kata pun setelah mendengar ucapan dari hantu itu.

Hantu itu perlahan berjalan mendekati Khana, langkahnya begitu tenang namun menciptakan ketegangan yang luar biasa. Khana, yang panik, mulai berjalan mundur, berusaha menjauh, meskipun ketakutan membuat gerakannya terasa lambat dan ragu-ragu. Semakin dekat hantu itu mendekat, semakin berat napas Khana, hingga jarak antara mereka hampir tidak lagi dapat dipertahankan.

Setelah berada cukup dekat, hantu itu berhenti, seolah mengetahui rencana Khana dan temannya untuk datang kesini, ia berkata, "Kau ingin mewawancarai mereka... para hantu yang ada di sekolah ini, bukan? Ingin kubantu?"

Tak lama kemudian, Khana tiba-tiba tersadar. Secara mengejutkan, ia kini berdiri di belakang teman-temannya, seolah-olah pertemuan dengan hantu tadi hanyalah mimpi buruk yang begitu nyata. Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan hantu itu dan tawarannya masih mengusik pikirannya.

"Khana, ada apa? Kau terlihat pucat." tanya Yuina sambil menyorotkan senter ke wajah Khana.

Khana tidak merespons segera. Ia terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pikirannya masih terjebak dalam fenomena aneh yang baru saja menimpanya. Kata-kata hantu itu terus bergema di kepalanya, membuatnya sulit untuk fokus pada apa pun di sekitarnya. 

"Aku akan mengusir hantu yang ada di laboratorium. Setelah hantu itu pergi, aku akan mengeluarkan suara tangisan. Kau datanglah ke laboratorium setelah mendengar suara itu."

Suara hantu itu berulang kali berputar dalam pikirannya. Namun, di luar pikirannya yang kacau, suara teman-temannya terus memanggil.

"Khana? Khana??" Suara Yuina yang semakin lama terdengar semakin jelas.

Setelah beberapa kali dipanggil, Khana akhirnya tersadar, seperti tersentak dari lamunan yang dalam. "Ah! Maafkan aku, aku sedikit melamun tadi..." ucapnya dengan nada yang berusaha terdengar normal.

"Di situasi seperti ini kau masih bisa melamun? Bahaya lohh, bisa-bisa nanti kerasukan." tegas Yuina dengan nada kesal.

Khana tertawa kecil, berusaha untuk menghilangkan ketegangan yang ada pada dirinya. "Hehe, maaf-maaf gk lagi dehh. Yuk lanjut." ucap Khana.

Meskipun niat hantu itu tampak baik, Khana masih tidak bisa begitu saja mempercayai kata-katanya. Rasa takut dan keraguan masih melekat kuat dalam dirinya.

Jam di ponsel Khana menunjukkan pukul tiga subuh. Udara dingin semakin menyesakkan, dan suasana sekolah yang tadinya sangat mencekam berubah menjadi sedikit sunyi dengan dinginnya embun pagi. Setelah waktu berlalu tanpa hasil apa pun, mereka akhirnya memutuskan untuk keluar dari sekolah tersebut.

"Akhirnya... Lega bisa keluar dari tempat menyeramkan itu." ucap Khana dengan perasaan yang bercampur aduk setelah mengalami peristiwa aneh di dalam sekolah itu.

"Khana... Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi besok pagi saja." kata Yuina sambil memimpin perjalanan mereka.

"Sekarang saja bagaimana? Kau tidak boleh membuatku penasaran." balas Khana dengan nada setengah bercanda, berharap Yuina mau berbicara.

Yuina melirik Khana dengan senyum tipis di wajahnya. "Yakin mau sekarang? Duhh, nanti aja deh. Karena malam ini kita nggak tidur, jadinya otak kita sangat sulit untuk fokus," katanya sambil menghela napas panjang, berusaha memberi alasan logis.

Sesampainya di penginapan, tubuh mereka yang lelah tak mampu lagi menahan kantuk. Dalam hitungan menit, mereka sudah tertidur pulas, terlelap dalam keheningan malam yang mulai berubah menjadi pagi.

Keesokan paginya, pada hari Minggu. Sinar matahari yang terang menembus tirai kamar, membangunkan mereka dengan kehangatannya. Namun, ketika Khana dan teman-temannya membuka mata, mereka tersadar bahwa waktu sudah jauh melampaui jadwal bangun mereka. Mereka bangun kesiangan.

Tanpa banyak bicara, mereka saling bertukar pandang, lalu dengan panik mulai bergegas. Tidak ada waktu untuk sarapan ataupun bersantai, mereka harus segera berangkat. Dengan cepat, mereka merapikan barang-barang mereka dan berlari keluar dari penginapan menuju pemberhentian bus, berharap tidak terlambat untuk perjalanan pulang.

Setelah menaiki bus, Khana kembali duduk di samping Yuina. Namun, kali ini ada yang berbeda. Yuina tampak tenggelam dalam lamunannya, menatap jauh ke luar jendela. Pemandangan pepohonan yang berlalu dengan cepat seolah menjadi latar bagi pikirannya yang melayang entah ke mana. 

Khana memperhatikan Yuina sejenak, ia begitu penasaran tentang pertanyaan Yuina yang akan dilontarkan kedepannya. Namun, melihat Yuina yang tampak seperti tenggelam dalam lamunannya. Ia pun memilih untuk memendam rasa ingin tahu yang ada pada dirinya dan lebih memilih untuk menikmati keheningan tersebut.

Setelah sampai di rumah, Khana menjalani hari-harinya seperti biasa, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian aneh yang ia alami. Aktivitas sehari-hari mengerjakan tugas, menonton acara kesukaannya, dan berkomunikasi dengan teman-teman online, membuatnya merasa sedikit lebih normal. Meski begitu, di balik rutinitas yang ia jalani, bayang-bayang pertemuannya dengan hantu itu terus membebani pikirannya, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya.

Waktu berlalu dengan cepat, hingga tiba hari Senin hari yang selalu terasa berat bagi kebanyakan orang, tetapi hari ini terasa lebih dari biasanya. Ini adalah hari ketika Khana, Yuina, dan Hideki kembali ke sekolah. Suasana sekolah yang biasanya dipenuhi tawa riang siswa-siswi tampak tidak begitu menyenangkan kali ini, terutama dengan rahasia yang kini mereka simpan tentang apa yang mereka alami.

Khana yang masih merasa ngantuk berjuang keras untuk tetap terjaga. Matanya terasa berat, dan kepalanya hampir jatuh ke meja beberapa kali. Fokusnya buyar, dan suara guru di depan kelas terdengar seperti dengungan jauh yang semakin sulit ia pahami. Ia tahu tidak bisa membiarkan dirinya tertidur di tengah pelajaran, tetapi rasa kantuk akibat kurang tidur di hari Minggu malam terus menyerangnya.

Setiap kali matanya mulai terpejam, ia cepat-cepat mengangkat kepalanya, berharap tidak terlihat oleh guru. Tapi, tak jarang, ia lengah dan hampir tertidur. Saat ia berniat menutup mata sebentar, berharap bisa menyelinap dalam beberapa detik tidur, tiba-tiba ada sentuhan kecil di lengannya. Pena dari teman di bangku belakang menyentuh kepalanya, membangunkan Khana secara tiba-tiba.

Khana tersentak dan menoleh ke belakang dengan kesal, matanya masih berat karena kantuk. "Hei paranormal, ga bisa tidur gara-gara makhluk gaib ya?!" ejek teman laki-laki yang duduk di belakangnya sambil menyeringai. "Pinjem penghapus dong," lanjutnya, dengan nada yang jelas lebih mengolok-olok daripada meminta tolong.

Khana mengerutkan kening, merasa terganggu dengan ejekan itu. Sudah cukup sulit baginya untuk berfokus dengan rasa kantuk yang menyerang, belum lagi ditambah komentar sinis dari teman sekelasnya. Ia tahu beberapa dari mereka merasa risih dengan ketertarikannya pada hal-hal supranatural, terutama setelah beberapa insiden aneh yang melibatkan dirinya akhir-akhir ini.

"Ada-ada aja," gumam Khana pelan, menyerahkan penghapus tanpa banyak bicara. Dia menatapnya sejenak, mencoba menahan diri untuk tidak tersulut oleh ejekan itu. "Jangan rusak ya," tambahnya dengan nada dingin, kemudian Khana berbalik dan berdiri meminta izin kepada gurunya untuk pergi ke toilet sekolah.

Setelah diberikan izin oleh gurunya tersebut. Khana langsung bergegas pergi ke toilet sekolah, berniat untuk membasuh wajahnya guna menghilangkan rasa kantuk yang terlalu berat. Sesampainya di toilet, ia segera menuju wastafel, meletakkan kacamatanya di dekat wastafel, menyalakan keran, dan menampung air di telapak tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia membasuh wajahnya, merasakan sensasi dingin air yang meresap ke kulitnya.

Namun, ketika Khana melihat ke arah cermin. Di cermin itu terdapat hantu bercirikan kulit pucat, rambut hitam panjang dengan mata kosong. Hantu itu adalah hantu anak kecil yang sebelumnya pernah ia lihat. Ia adalah hantu yang sangat familier berada di Distrik Shinobu, dan mengikutinya hingga ke sekolahnya.

Ia pun langsung menatap ke belakang dan melihat hantu itu. Dengan senyum kecilnya yang menakutkan, ia berkata. "Mengapa kau mengabaikan bantuanku? Apa karena kau terlalu takut padaku?"

Khana memandang hantu itu, tubuhnya tak lagi diselimuti rasa takut seperti sebelumnya. Ia mulai merasa jengkel lebih dari cemas, terutama karena hantu ini terus saja muncul tanpa penjelasan yang memuaskan. Dengan napas yang kini lebih stabil, Khana menyela tanpa menghiraukan pertanyaan sang hantu. 

"Mengapa kau terus mengikutiku? Apa yang membuatmu tertarik padaku?!" Khana menuntut jawaban, kali ini dengan nada kesal yang jelas terdengar dalam suaranya. 

"Kau tidak berniat untuk menyakitiku benar bukan?" lanjut Khana. Ia mengarahkan telunjuknya ke arah sosok itu, berharap tindakannya bisa memberi sedikit tekanan, meskipun ia tidak yakin hantu bisa terancam oleh gerakan manusia.

Hantu anak kecil itu tersenyum, seakan tidak terganggu oleh kemarahan Khana. "Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu," katanya dengan nada lembut. "Aku hanya sesosok hantu yang kesepian. Apa yang harus kau takuti dari seseorang yang dulunya juga seorang manusia? Sebelum menjadi seperti ini, aku menjalani hidup biasa seperti kau."

Perkataan hantu itu berlanjut, kali ini lebih dipenuhi dengan perasaan sedih dan nostalgia. "Sebelum insiden itu, aku adalah seorang manusia. Bersekolah, punya keluarga, teman-teman. Sama sepertimu."

Melihat ekspresi hantu itu yang berubah menjadi muram, Khana merasakan sesuatu di dalam dirinya bergeser. Rasa kesal yang tadi ia rasakan mulai digantikan oleh rasa iba. Ia menyadari, meskipun hantu ini terus mengikutinya, mungkin ia hanya mencari hubungan, atau sekadar ingin didengar. Rasa bersalah merayap masuk, karena selama ini ia hanya melihatnya sebagai ancaman. 

Khana menunduk sedikit, merasa canggung atas penilaiannya yang salah. Tanpa berkata apa-apa, ia mulai merasakan simpati yang dalam kepada sosok hantu yang kesepian di depannya.

Melihat ekspresi Khana yang berubah, tampak jelas bahwa ia merasa bersalah, hantu itu tersenyum lebih lembut dan melangkah sedikit mendekat sambil mengulurkan tangannya berniat untuk berjabat tangan dengan Khana. 

"Sebelumnya, izinkan aku memperkenalkan diri," katanya dengan suara tenang. "Namaku Ellie Dollie. Sebenarnya, aku sendiri kurang yakin apakah itu nama asliku. Tapi mereka, para hantu di Distrik Shinobu, memanggilku begitu." 

Khana mendongak, sedikit terkejut mendengar hantu itu akhirnya berbicara tentang dirinya. Ellie Dollie. Nama itu terasa aneh, tetapi pada saat yang sama, ada sesuatu yang menyedihkan di balik cara ia mengucapkannya, seolah-olah dirinya sendiri sudah kehilangan banyak ingatan tentang siapa dia dulu.

"K-kalau begitu, perkenalkan, namaku... Khana Maurenza," ucap Khana dengan sedikit gugup, lalu mencoba mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ellie. Namun, tangan Khana hanya melewati udara kosong. Tangan Ellie, seperti yang ia duga, makhluk halus memang tidak bisa disentuh oleh manusia.

Ellie pun tertawa kecil melihat tingkah Khana, tawa lembut yang dulu terdengar menakutkan kini justru terdengar ringan dan hangat. Khana tersenyum, merasa bahwa situasi ini, yang tadinya menegangkan dan mencekam, telah berubah menjadi sesuatu yang lebih damai. Tawa hantu yang dulu dianggap sebagai ancaman kini terasa menghibur. Khana, tanpa sadar, ikut tertawa bersama Ellie.

"Baiklah... sekali lagi," ucap Ellie, sambil mengulurkan tangannya dengan senyum tipis. Ia memfokuskan kekuatan gaibnya. Khana, yang awalnya ragu, akhirnya memberanikan diri mengulurkan tangan. 

Ketika jari-jarinya bersentuhan dengan tangan Ellie, ada sensasi aneh, dingin tapi nyata. Mereka akhirnya berjabat tangan. Ellie menatap Khana dengan harapan, lalu bertanya, "Sekarang, bisakah aku menganggapmu sebagai teman?"

Meskipun yang di depannya hanyalah sosok gaib, Khana merasa ia sangat membutuhkan pertemanan sejati. Bukan pertemanan yang hanya muncul karena kebutuhan semata. Dengan senyum yang tulus dan bahagia, ia menjawab, "Tentu saja."

Itulah saat pertama kali mereka berteman. Sosok yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman kini telah berubah menjadi seorang teman. Meski di dunia nyata hubungan seperti itu dianggap tabu dan dilarang oleh masyarakat, Khana tidak peduli. Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya, karena lebih dari apa pun, Khana sangat membutuhkan seorang teman setia yang bisa memahami dirinya.

Setelah berjabat tangan dengan Ellie, si hantu, rasa kantuk Khana seakan menghilang seketika, seolah energi baru mengalir dalam dirinya. Dengan perasaan yang lebih ringan, ia menghela napas dan meninggalkan toilet. Ia berjalan kembali ke kelasnya, berusaha mengejar waktu yang ia lewatkan sebelumnya. 

Ketika ia masuk ke dalam kelas, teman-temannya melirik sekilas, tetapi Khana tidak terlalu memikirkan itu. Dia langsung menuju bangkunya, berusaha fokus kembali pada pelajaran yang sebelumnya terganggu karena kantuk yang menguasainya. Sekarang, pikirannya sudah lebih jernih.

Setelah pulang dari sekolah. Dirinya menyempatkan untuk pergi ke perpustakaan Departement Abyss Hunter atau yang biasa disingkat sebagai "DAH".

Biarkan saya sebagai Author memperjelas. Di dunia yang damai ini, ada peristiwa yang menyebabkan jalur antara alam nyata dengan alam gaib yang dulunya terputus tiba-tiba tersambung karena kecerobohan manusia.

Dua alam itu saling bertolak belakang. Mereka yang dialam gaib mengaku bahwa manusia telah merebut tempat tinggal mereka. Namun, di sisi lain, manusia juga tidak akan menyerah dan tetap akan mempertahankan tempat tinggal mereka.

Membuat seluruh negara di dunia ini yang awalnya damai, sekali lagi mengangkat senjata untuk berperang melawan makhluk-makhluk alam gaib, atau yang biasa disebut sebagai Abyss.

Manusia pun segera bertindak. Mereka membentuk berbagai asosiasi untuk menangani ancaman Abyss yang terus berkembang. Contohnya adalah DAH (Departement Abyssal Hunter), SAC (Secret Abyssal Counter), OPF (Organization Phantom Forces) dan lain sebagainya. Masing-masing asosiasi ini memiliki peran strategis dalam mengidentifikasi, meneliti, dan memerangi makhluk-makhluk gaib yang mengancam keberlangsungan hidup manusia.

Tidak hanya asosiasi khusus, pemerintah di seluruh dunia juga bekerja sama dengan mereka untuk meminimalisir kerusakan. Organisasi kepolisian di beberapa negara bahkan diubah menjadi AAC (Association Anti Criminality), yang tidak hanya bertugas mengatasi kriminalitas biasa tetapi juga melawan Abyss yang merasuki manusia, menyebabkan mereka berubah menjadi sosok-sosok berbahaya, seperti psikopat yang tidak segan-segan membunuh atau melakukan tindakan kejam lainnya.

Khana yang kini memiliki rasa ingin tahu lebih dalam tentang Ellie Dollie, hantu yang telah menjadi temannya, memutuskan untuk mencari tahu sejarah dan latar belakang hantu tersebut. Tanpa ragu, ia menuju perpustakaan DAH (Departement Abyss Hunter), tempat di mana berbagai informasi dan dokumen tentang Abyss disimpan. Khana menanyakan kepada petugas DAH tentang Ellie Dollie, berharap menemukan catatan mengenai masa lalu hantu itu

Petugas DAH, yang tampak terbiasa dengan permintaan semacam ini, langsung mengawal Khana menuju ruang arsip publik. Rak demi rak berisi dokumen terorganisir dengan rapi, di mana berbagai karakteristik dan sejarah dari para hantu dicatat. Petugas tersebut menunjukkan rak yang berisi dokumen hantu-hantu dari Distrik Shinobu, tempat asal Ellie Dollie.

Setelah berterima kasih kepada petugas, Khana mulai mencari dokumen yang memuat nama Ellie Dollie. Ia menarik satu berkas. Di situ tertulis nama "Ellie Dollie" di sampulnya. Khana membuka berkas tersebut dan mulai membaca sejarah Ellie.

Apa yang ingin dilakukan oleh Khana? Jawabannya ia hanya ingin membantu hantu tersebut untuk mengingatkan kembali siapa jati dirinya.







1 komentar:

Next Prev
▲Top▲